Minggu, 13 Januari 2013

Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Mengatasi Masalah Gelandangan dan Pengemis



Masalah gelandangan dan pengemis merupakan salah satu masalah sosial yang belum teratasi dengan baik sampai saat ini.. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi angka gelandangan dan pengemis. Namun ironisnya jumlah gelandangan dan pengemis sering mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan untuk di kota-kota besar, jumlah gelandangan dan pengemis biasanya bertambah pasca hari raya sehingga usaha pemerintah tidak akan pernah ada habisnya untuk mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis khususnya di perkotaan.
Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan.[1]
Sebenarnya masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Oleh karena itu, jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar.
Pemerintah daerah wajib menyediakan panti sosial yang mempunyai program dalam bidang pelayanan rehabilitasi dan pemberian bimbingan ketrampilan (workshop) bagi gelandangan dan pengemis sehingga mereka dapat mandiri dan tidak kembali menggelandang dan mengemis. Kita memiliki banyak orang dewasa yang memiliki penghasilan rendah dan tinggal di daerah-daerah kumuh yang tidak mengenyam pendidikan dengan baik dan tidak memiliki keterampilan khusus yang sangat penting untuk memiliki pekerjaan informal yang stabil. Agar masyarakat di wilayah tersebut memiliki kesempatan pekerjaan yang baik, maka program dibutuhkan untuk pendidikan dan bimbingan bagi mereka, khususnya bagi generasi mudanya.[2] Organisasi Sosial (Orsos) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai bidang pelayanan menangani gelandangan dan pengemis dihimbau untuk mensinergikan program kegiatannya dengan pemerintah daerah atau instansi terkait sehingga adanya sebuah program yang lebih komprehensif dan terhindarnya tumpang tindih kegiatan yang sejenis. KUBE (Kelompok Usaha Bersama) sebagai media pemberdayaan dapat dilihat dari tiga sisi yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, memperkuat potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat, serta melindungi rakyat dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, juga mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan melalui KUBE bukan hanya meliputi penguatan individu sebagai anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya dengan menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban serta peningkatan partisipasi kelompok dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya.[3]
Pelaksanaan program pemberdayaan warga miskin kelompok rawan pangan dan bencana akan dipadukan dengan instansi sosial yang telah ada di daerah lokasi seperti Organisasi Sosial Loka Bina Karya, Sasana Krida Karang Taruna, Majelis Ta’lim, Pondok Pesantren, Gereja dan lembaga keagamaan lainnya. KUBE sebagai media utama pemberdayaan adalah kelompok dengan mana proses pemberdayaan dilaksanakan berupa usaha ekonomis produktif (UEP) dan usaha kesejahteraan sosial (UKS) dalam semangat kebersamaan, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial.[4] Dunia usaha dihimbau untuk peduli dan berperan aktif dalam penanganan gelandangan dan pengemis lokal melalui program sosial yang ada diperusahaannya, seperti : a. menjadi orang tua asuh bagi pengemis anak-anak usia sekolah, b. pemberian ketrampilan dan mempekerjakan 1 orang sesuai bidang pekerjaan diperusahaan yang sederhana dengan asumsi 1 (satu) perusahaan mengentaskan 1 (satu) gelandangan dan atau pengemis maka akan signifikan tingkat keberhasilan penanganan gelandangan dan atau pengemis, c. pemberian modal usaha dan lain-lainnya.
Daftar Pustaka :
Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial. Jakarta : Departemen Sosial RI.
Meissner, Hanna. 1977. Poverty in The Affluent Society. New York : Harper and Row.
mataramkota.go.id/download.php?file...pdf tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.00
bambang-rustanto.blogspot.com/.../gelandangan-pengemis-program- tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.01
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6132/ tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.02
www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/5198 tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.02



[2] Meissner, Hanna. 1977. “Poverty in The Affluent Society”. New York : Harper and Row.
[3] Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. “Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta: Departemen Sosial RI. Hal. 128

[4] Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. “Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta: Departemen Sosial RI. Hal. 132-133

Anak + Kemiskinan = Bodoh, Lapar, Lemah


 
Kenapa bodoh? Mereka umumnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak , bahkan ada yang buta huruf. Adapun aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh anak-anak keluarga miskin, di samping belajar di tingkat SD adalah membantu kedua orangtuanya di rumah seperti mengasuh adik-adiknya yang masih kecil, membersihkan halaman rumah, memasak dan mencuci (bagi anak-anak wanita), mencari rumput (bagi anak laki-laki), dan sebagainya. [1] Jarang sekali anak keluarga miskin yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak keluarga miskin sering disuruh membantu orangtuanya mencari nafkah dengan menjadi buruh, pengamen, atau pengemis. Keadaan ini menyebabkan anak-anak dari keluarga miskin memiliki masa kanak-kanak yang singkat dan kurang mendapat pengasuhan orangtua.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, angka putus sekolah di tingkat SD sekitar 1,3 persen atau setara 400.000 siswa. Kemudian anak yang tidak melanjutkan pendidikan dari SD ke SMP sekitar 7,2 persen atau sekitar 2,2 juta siswa. Mereka yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya tersebut kemungkinan besar akan menjadi pekerja (dan sebagian dari mereka sebelumnya juga sudah bekerja). Kemiskinan membatasi kemampuan orang tua untuk memenuhi biaya pendidikan anak. Sehingga ada kecenderungan anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu mengalami keterlambatan pertumbuhan kemampuan kognisi, afeksi dan psikomotorik dibandingkan anak yang berasal dari keluarga sejahtera.[2]
Kenapa lapar? Lahir dari keluarga miskin.Untuk mencegah agar bayi/anak tidak menangis maka banyak orang tua yang memberi makanan tambahan berupa nasi atau makanan lain kepada bayi meskipun umur bayi tersebut kurang dari 6 bulan. Hal ini jelas bertentangan dengan pola pengasuhan bayi/anak yang dianjurkan oleh para dokter/ahli pertumbuhan anak karena sebelum berusia 6 bulan seyogyanya anak tidak diberi makanan tambahan dan hanya diberi asi saja. Menurut harian Suara Pembaruan tanggal 11 Juli 2007, Badan Dunia yang menangani masalah pangan, World Food Programme (WFP) memperkirakan, anak Indonesia yang menderita kelaparan akibat kekurangan pangan saat ini berjumlah 13 juta orang. Direktur Regional Asia WFP, Anthony Banbury, mengatakan bahwa anak-anak yang kelaparan itu tersebar di berbagai tempat di Tanah Air khususnya di tiga kawasan, yakni perkotaan, daerah konflik, dan daerah rawan bencana.[3]
Kenapa tidak berdaya? Anak merupakan kelompok yang rentan, marjinal dan dianggap sebelah mata. Posisinya terkadang sangat lemah, sulit melawan, terkungkungg lingkungan, dan dependen pada orang-orang di sekitarnya. Anak atau kelompok disebut sebagai korban adalah karena dia atau kelompoknya mengalami derita, atau kerugian mental, fisik, atau sosial oleh sebab orang lain atau kelompok lain. Terutama yang ingin dimintakan perhatian adalah penimbulan korban oleh suatu struktur sosial tertentu serta sistem-sistemnya pada seorang anak atau kelompok (viktimisasi struktural).  Viktimisasi struktural menimbulkan banyak masalah terutama pada individu dan kelompok yang berkedudukan lemah dan tidak berkuasa di dalam suatu masyarakat. Seorang anak atau suatu kelompok/golongan dapat menderita karena tindakan kebijaksanaan suatu pemerintah atau golongan tertentu yang berkuasa (politis, ekonomis, sosial, religious, intelektual). Berlarut-larutnya ketimpangan sosial ini akan berakibat pada pelanggaran hak-hak asasi manusia yang lain dan dapat merupakan faktor yang kriminogen (menimbulkan kejahatan) pula. Bahkan dapat dikatakan ketimpangan sosial inilah yang menjadi salah satu sebab utama daripada pelanggaran hak asasi yang lain. [4]
Perlindungan anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. [5] Kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan bersama. Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi yang baik antara objek dan subjek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Ini berarti bahwa setiap anggota masyarakat dan pemerintah (yang berwajib) berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu masyarakat yang merata akan membawa akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas suatu masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang diusahakan oleh masyarakat tersebut. Penghalangan pengadaan kesejahteraan anak dengan perspektif kepentingan nasional, masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan material, adalah suatu penyimpangan yang mengandung faktor-faktor kriminogen (menimbulkan kejahatan) dan viktimogen (menimbulkan korban). [6] Pasal 2, ayat 3 dan ayat 4, Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut : “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.


[1] Budaya Kemiskinan di Desa Tertinggal di Jawa Timur, Lindyastuti Setiawati dan Sri Guritno, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, CV. Bupara Nugraha
[4] Masalah Perlindungan Anak, Dr. Arif Gosita SH, PT.Bhuana Ilmu Populer, 2004, Hal. 38
[5] Ibid., Hal. 17-18
[6] Ibid.,Hal. 35-36

Faktor-faktor yang Menghambat Nelayan Keluar dari Kemiskinan


Indonesia dikenal sebagai Negara dengan kekayaan alam yang melimpah. Kekayaan alam di daratan maupun di lautan yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke merupakan sumber daya alam yang potensial untuk dimanfaatkan bagi kemakmuran bangsa. Namun sayangnya tidak seluruh penduduk Indonesia merasakan kekayaan alam Indonesia, bahkan ada golongan masyarakat yang paling terpinggirkan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, penduduk miskin di indonesia mencapai 34,96 juta jiwa dan 63,47 persen % di antaranya adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dan pedesaan. Lebih dari 22 persen dari seluruh penduduk Indonesia justru berada di bawah garis kemiskinan dan selama ini menjadi golongan yang paling terpinggirkan karena kebijakan dalam pembangunan yang lebih mengarah kepada daratan. Menurut Prof Purbayu, pakar ekonomi pembangunan, kekayaan alam Indonesia menduduki peringkat atas. Namun ironisnya kelimpahan dan kekayaan itu tidak membawa kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan. Kondisi kemiskinan semakin hari semakin bertambah, terutama nelayan di pesisir pantai. Prof. Herman Soewardi, Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap dalam kemiskinannya.
Kemiskinan di komunitas nelayan masuk dalam kategori kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou (1982) ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Kemiskinan karena preference for a particular way of life ini disebut kemiskinan kultural.
SementaraKemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Secara teoritis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber, dan oleh karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku adalah sedemikian rupa keadaannya, sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Umpamanya kelemahan ekonomi tidak memungkinkan mereka untuk memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Struktur lainnya yang menyebabkan kemiskinan yaitu tingkat pendidikan, program pemerintah yang tidak ramah neayan, kondisi alam, pola hidup ne. Inti dari masalah yang berhubungan dengan kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang dise but dengan deprivation trap atau perangkap kemiskinan. Secara rinci, deprivation trap terdiri dari lima unsur: (1) kemiskinan itu sendiri; (2) kelemahan fisik; (3) keterasingan atau kadar isolasi; (4) kerentanan; dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar - benar berbahaya dan mematikan peluang hidup orang atau keluarga miskin.[1]
Daftar Pustaka :