Oleh
Syadza Alifa
Mahasiswi
Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI
Publik
Indonesia belakangan kemarin sedang hangat membahas isu larangan berjilbab bagi
Polisi Wanita (Polwan) yang ditetapkan oleh para pejabat Polri. Aturan ini
cukup mengguncang dan menyedot perhatian banyak pihak karena adanya pro kontra
dari masyarakat dengan kalangan Polri. Hal yang mengherankan adalah aturan ini
muncul di Negara yang notabene berpenduduk Muslim terbesar kedua di dunia yang
bukan pula Negara sekuler non relijius seperti Turki. Memang meskipun Indonesia
bukan Negara yang berdasarkan nilai-nilai Islam tetapi Indonesia sudah dikenal
kental dengan nilai-nilai relijius, menjunjung asas non diskriminasi, dan
menjunjung demokrasi. Tetapi pada kenyataannya, dengan adanya aturan pelarangan
berjilbab bagi wanita yang beragama Islam tentunya menunjukkan bahwa nilai
demokrasi dan non-diskriminasi di negeri ini patut dipertanyakan.
Jika
disimak alasan dari kalangan Polri mengenai pelarangan berjilbab ini adalah
untuk memberikan pelayanan yang merata kepada semua masyarakat, tidak seolah
memihak pada golongan tertentu (misalnya golongan agama), yang dengan begitu
Polwan dapat diterima bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Tetapi alasan ini
sesungguhnya tidak cukup kuat dan justru menunjukkan sebenarnya masih ada
diskriminasi di Indonesia. Jika alasannya adalah untuk dapat memberikan
pelayanan yang tidak seolah memihak pada pihak manapun, berarti ini adalah
alasan yang menunjukkan tidak boleh adanya diskriminasi dalam pemberian layanan
pada masyarakat. Tetapi dalam pemberlakuannya, justru sarat dengan diskriminasi
karena seorang Muslim dilarang untuk mematuhi aturan agamanya. Bahkan jika
dilihat dari efektifitas dan kinerja Polwan yang menggunakan jilbab dan tidak
menggunakan jilbab rasanya hampir tidak ada perbedaan. Keduanya tetap
memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Rasanya belum ada respon
atau tanggapan negatif dari masyarakat bahwa Polwan yang berjilbab memberikan
pelayanan yang lebih buruk atau menunjukkan sikap diskriminatif pada masyarakat
tertentu. Berjilbab justru dapat memberikan efek positif bagi muslimah karena
dapat membantunya untuk mengendalikan diri sehingga dapam memberikan pelayanan
pun akan berusaha lebih baik.
Perlu
diingat juga bahwa berjilbab bukanlah hal yang tabu di Indonesia sekarang,
bahkan berjilbab seolah menjadi style saat ini seiring dengan munculnya mode
hijabers yang marak saat ini. Jika kita melihat ke masa lalu dimana jilbab
belum umum digunakan seperti sekarang, mungkin aturan tersebut tidak terlalu
aneh. Tetapi di tengah peningkatan semangat berjilbab di kalangan muslimah di
Indonesia, adanya aturan tersebut seolah menjadi kontradiksi dan menunjukkan
kebijakan yang sesungguhnya diskriminatif bagi para muslimah di Indonesia.
Tetapi
setelah hasil keputusan kemarin yaitu Polwan diperbolehkan untuk berjilbab,
seolah menjadi nafas segar bagi para muslimah di Indonesia yang ingin atau
sedang menjadi Polwan untuk menjalankan perintah Alla Swt untuk menutup aurat.
Semoga kedepannya tidak ada lagi aturan pelarang diskriminasi yang
diskriminatif seperti ini.