Sabtu, 03 Agustus 2013

Aturan Berjilbab untuk Polwan di Indonesia : Mempertanyakan Kembali Makna Diskriminasi di Indonesia


Oleh Syadza Alifa
Mahasiswi Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI


Publik Indonesia belakangan kemarin sedang hangat membahas isu larangan berjilbab bagi Polisi Wanita (Polwan) yang ditetapkan oleh para pejabat Polri. Aturan ini cukup mengguncang dan menyedot perhatian banyak pihak karena adanya pro kontra dari masyarakat dengan kalangan Polri. Hal yang mengherankan adalah aturan ini muncul di Negara yang notabene berpenduduk Muslim terbesar kedua di dunia yang bukan pula Negara sekuler non relijius seperti Turki. Memang meskipun Indonesia bukan Negara yang berdasarkan nilai-nilai Islam tetapi Indonesia sudah dikenal kental dengan nilai-nilai relijius, menjunjung asas non diskriminasi, dan menjunjung demokrasi. Tetapi pada kenyataannya, dengan adanya aturan pelarangan berjilbab bagi wanita yang beragama Islam tentunya menunjukkan bahwa nilai demokrasi dan non-diskriminasi di negeri ini patut dipertanyakan.
Jika disimak alasan dari kalangan Polri mengenai pelarangan berjilbab ini adalah untuk memberikan pelayanan yang merata kepada semua masyarakat, tidak seolah memihak pada golongan tertentu (misalnya golongan agama), yang dengan begitu Polwan dapat diterima bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Tetapi alasan ini sesungguhnya tidak cukup kuat dan justru menunjukkan sebenarnya masih ada diskriminasi di Indonesia. Jika alasannya adalah untuk dapat memberikan pelayanan yang tidak seolah memihak pada pihak manapun, berarti ini adalah alasan yang menunjukkan tidak boleh adanya diskriminasi dalam pemberian layanan pada masyarakat. Tetapi dalam pemberlakuannya, justru sarat dengan diskriminasi karena seorang Muslim dilarang untuk mematuhi aturan agamanya. Bahkan jika dilihat dari efektifitas dan kinerja Polwan yang menggunakan jilbab dan tidak menggunakan jilbab rasanya hampir tidak ada perbedaan. Keduanya tetap memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Rasanya belum ada respon atau tanggapan negatif dari masyarakat bahwa Polwan yang berjilbab memberikan pelayanan yang lebih buruk atau menunjukkan sikap diskriminatif pada masyarakat tertentu. Berjilbab justru dapat memberikan efek positif bagi muslimah karena dapat membantunya untuk mengendalikan diri sehingga dapam memberikan pelayanan pun akan berusaha lebih baik.
Perlu diingat juga bahwa berjilbab bukanlah hal yang tabu di Indonesia sekarang, bahkan berjilbab seolah menjadi style saat ini seiring dengan munculnya mode hijabers yang marak saat ini. Jika kita melihat ke masa lalu dimana jilbab belum umum digunakan seperti sekarang, mungkin aturan tersebut tidak terlalu aneh. Tetapi di tengah peningkatan semangat berjilbab di kalangan muslimah di Indonesia, adanya aturan tersebut seolah menjadi kontradiksi dan menunjukkan kebijakan yang sesungguhnya diskriminatif bagi para muslimah di Indonesia.
Tetapi setelah hasil keputusan kemarin yaitu Polwan diperbolehkan untuk berjilbab, seolah menjadi nafas segar bagi para muslimah di Indonesia yang ingin atau sedang menjadi Polwan untuk menjalankan perintah Alla Swt untuk menutup aurat. Semoga kedepannya tidak ada lagi aturan pelarang diskriminasi yang diskriminatif seperti ini.

Minggu, 12 Mei 2013

Ketika Menjadi Mahasiswa Berprestasi Menjadi Sebuah Urgensi


Mahasiswa Berprestasi atau yang biasa disingkat Mapres, adalah sebuah julukan bagi mahasiswa yang memiliki segudang prestasi dan banyak berkontribusi bagi lingkungannya. Menjadi Mapres tentunya bukanlah hal yang gampang. Dibutuhkan perjuangan yang besar dari sejak dia menginjak bangku kuliah. Mahasiswa memang sering kali berpikir bahwa yang disebut sebagai mahasiswa berprestasi adalah mahasiswa yang memenangkan gelar mahasiswa berprestasi pada ajang kompetisi mahasiswa berprestasi. Mereka tidak menyadari bahwa menjadi mahasiswa berprestasi bukanlah sekedar gelar yang dialamatkan bagi pemenang kompetisi mahasiswa berprestasi, namun juga bagi para mahasiswa yang selama ini bergerak dan berkontribusi bagi lingkungannya.
Untuk menjadi Mapres, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi diantaranya :  Pertama, pernah menjadi pengurus organisasi. Seorang mahasiswa berprestasi adalah mereka yang dapat meluangkan waktunya untuk menjadi pengurus organisasi, baik itu organisasi intra kampus maupun organisasi ekstra kampus. Tingkatan organisasi di dalam kampus dan diluar kampus sangat mempengaruhi poin penilaian yang diberikan oleh dewan juri. misalnya mereka yang menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat Universitas lebih tinggi point nya dibandingkan dengan mereka yang hanya mengikuti BEM tingkat jurusan. atau mereka yang mengikuti organisasi tingkat nasional akan lebih tinggi point nya dibandingkan dengan mereka yang hanya di tingkat kabupaten. begitu juga jabatan yang ia tanggung, seorang ketua lebih tinggi point nya dibandingkan dengan hanya sebagai anggota saja. Kedua adalah pernah menjadi kepanitiaan. Seorang mahasiswa berprestasi selalu terlibat dalam kepanitiaan sebuah acara, baik itu kepanitiaan yang dilaksanakan oleh universitas maupun oleh LSM luar kampus. Point kepanitiaan pun sangat dipengaruhi oleh tingkatan ataupun kapasitas dan posisi dia dalam kepanitiaan tersebut.
Ketiga adalah pernah memperoleh kejuaraan Ilmiah Mahasiswa. Di bidang ilmiah, calon mahasiswa yang memperoleh gelar Mapres harus memperoleh kejuaraan ilmiah, misalnya dia pernah menjadi juara Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional atau lomba menulis esay dan sebagainya. tingkatan atau cakupan dari wilayah yang ia peroleh juga mempengaruhi point penilaian dari dewan juri. Keempat adalah pernah menghasilkan penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa harus dibuktikan dengan laporan atau makalah yang pernah ia teliti selama menjadi mahasiswa di tingkat universitas maupun diluar perguruan tinggi. Kelima adalah pernah menjadi pembicara atau penyaji makalah. Seorang mahasiswa berprestasi harus berbagi ilmu guna sama sama mencapai kesuksesan bersama. Sebagai calon mahasiswa berprestasi, dia pernah berbagi ilmu dari hasil penelitian yang pernah ia lakukan selama menjadi mahasiswa sebelum memperoleh gelar mahasiswa berprestasi.
Menjadi Mahasiswa Berprestasi merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi siapapun yang menyandang gelar itu. Ketika gelar mahasiswa berprestasi dianugrahkan kepada seorang mahasiswa, maka mahasiswa tersebut mengembang dua amanah sekaligus. Amanah untuk menjaga kehormatan gelar tersebut dan amanah untuk terus mempertahankan sekaligus meningkatkan prestasi dan kontribusi yang sudah diraih.
Tetapi menjadi mahasiswa berprestasi juga menjadi sebuah tantangan sekaligus memberikan manfaat baik manfaat secara laten maupun manifest. Tantangan pertama, menjadi mahasiswa berprestasi itu artinya kita harus siap memberikan kontribusi terbaik dimanapun kita berada. Jika suatu ketika kita kurang berkontribusi atau performa kita tidak prima, maka orang-orang akan mempertanyakan atau memandang aneh kepada kita. Dan tentunya ini menjadi ujian mental bagi para mahasiswa berprestasi agar terus memberikan performa terbaik dimanapun ia berada. Kedua, menjadi mahasiswa berprestasi itu artinya kita harus siap meluangkan waktu lebih banyak untuk kegiatan-kegiatan sosial, sehingga waktu untuk keluarga, teman, diri sendiri, mungkin akan sedikit. Ketiga, ini mungkin menjadi tantangan cukup berat karena harus membagi waktu untuk setiap kegiatan. Kesibukan di berbagai aktivitas baik di kegiatan akademis, organisasi kampus, organisasi ekstra kampus, kegiatan sosial, hobi, dan lain-lain, memang membutuhkan fokus dan perhatian. Dilema ini memang bukan hanya menghampiri seseorang yang bergelar “mahasiswa berprestasi” tetapi menghampiri hampir seluruh kalangan mahasiswa. Tetapi mungkin bagi mahasiswa berprestasi, itu menjadi hal yang harus sangat diperhatikan karena ia harus menjaga keseimbangan setiap kegiatan tersebut agar semuanya dapat dijalani dengan baik.
Namun dibalik semua tantangan tersebut, menjadi mahasiswa berprestasi juga memberikan banyak manfaat. Pertama, dengan menjadi mahasiswa berprestasi, kesempatan kita untuk melebarkan sayap prestasi akan semakin lebar karena biasanya orang-orang tertarik untuk mengajak kerjasama baik dalam hal apapun itu. Menjadi mahasiswa berprestasi memberikan suatu citra positif bagi orang yang menyandangnya. Kedua, dengan menjadi mahasiswa berprestasi, kita bisa banyak memberikan inspirasi bagi orang lain dan aspirasi kita bisa lebih didengarkan orang lain. Ketiga, dengan menjadi mahasiswa berprestasi, kita akan belajar lebih banyak hal, tentang bagaimana memanajemen waktu, menjaga kedisiplinan diri, menjaga kestabilan akademis, dan lain-lain. Keempat, menjadi mahasiswa berprestasi tentunya menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi diri kita dan keluarga kita. Orangtua mana yang tidak bahagia dan bangga melihat prestasi anaknya?
Oleh karena itu, menjadi Mapres saat ini menjadi sebuah urgensi bagi mahasiswa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa menjadi mahasiswa berprestasi bukan hanya berusaha memperoleh title mahasiswa berprestasi secara formal saja dan bukan hanya orang-orang dengan bakat luar biasa saja yang bisa menjadi mahasiswa berprestasi. Setiap mahasiswa bisa dan mampu menjadi mahasiswa berprestasi dan prestasi itu tidak harus prestasi besar saja, sekecil apapun usaha dan kontribusi bagi masyarakat, itu merupakan suatu prestasi. Jadi, jangan sampai kita memiliki stigma bahwa menjadi mahasiswa berprestasi itu hanya orang-orang yang memiliki prestasi besar. Tetap berusaha dan selalu berusaha berkontribusi bagi masyarakat serta lakukan yang terbaik yang kita bisa dimanapun dan kapanpun kita berada, itulah makna menjadi mahasiswa berprestasi yang sesungguhnya.

Minggu, 13 Januari 2013

Kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Mengatasi Masalah Gelandangan dan Pengemis



Masalah gelandangan dan pengemis merupakan salah satu masalah sosial yang belum teratasi dengan baik sampai saat ini.. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi angka gelandangan dan pengemis. Namun ironisnya jumlah gelandangan dan pengemis sering mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan untuk di kota-kota besar, jumlah gelandangan dan pengemis biasanya bertambah pasca hari raya sehingga usaha pemerintah tidak akan pernah ada habisnya untuk mengurangi jumlah gelandangan dan pengemis khususnya di perkotaan.
Fakta membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit. Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi budaya jalanan.[1]
Sebenarnya masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Oleh karena itu, jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan, pendidikan dan modal ke kota-kota besar.
Pemerintah daerah wajib menyediakan panti sosial yang mempunyai program dalam bidang pelayanan rehabilitasi dan pemberian bimbingan ketrampilan (workshop) bagi gelandangan dan pengemis sehingga mereka dapat mandiri dan tidak kembali menggelandang dan mengemis. Kita memiliki banyak orang dewasa yang memiliki penghasilan rendah dan tinggal di daerah-daerah kumuh yang tidak mengenyam pendidikan dengan baik dan tidak memiliki keterampilan khusus yang sangat penting untuk memiliki pekerjaan informal yang stabil. Agar masyarakat di wilayah tersebut memiliki kesempatan pekerjaan yang baik, maka program dibutuhkan untuk pendidikan dan bimbingan bagi mereka, khususnya bagi generasi mudanya.[2] Organisasi Sosial (Orsos) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai bidang pelayanan menangani gelandangan dan pengemis dihimbau untuk mensinergikan program kegiatannya dengan pemerintah daerah atau instansi terkait sehingga adanya sebuah program yang lebih komprehensif dan terhindarnya tumpang tindih kegiatan yang sejenis. KUBE (Kelompok Usaha Bersama) sebagai media pemberdayaan dapat dilihat dari tiga sisi yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang, memperkuat potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat, serta melindungi rakyat dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, juga mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan melalui KUBE bukan hanya meliputi penguatan individu sebagai anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya dengan menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban serta peningkatan partisipasi kelompok dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya.[3]
Pelaksanaan program pemberdayaan warga miskin kelompok rawan pangan dan bencana akan dipadukan dengan instansi sosial yang telah ada di daerah lokasi seperti Organisasi Sosial Loka Bina Karya, Sasana Krida Karang Taruna, Majelis Ta’lim, Pondok Pesantren, Gereja dan lembaga keagamaan lainnya. KUBE sebagai media utama pemberdayaan adalah kelompok dengan mana proses pemberdayaan dilaksanakan berupa usaha ekonomis produktif (UEP) dan usaha kesejahteraan sosial (UKS) dalam semangat kebersamaan, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial.[4] Dunia usaha dihimbau untuk peduli dan berperan aktif dalam penanganan gelandangan dan pengemis lokal melalui program sosial yang ada diperusahaannya, seperti : a. menjadi orang tua asuh bagi pengemis anak-anak usia sekolah, b. pemberian ketrampilan dan mempekerjakan 1 orang sesuai bidang pekerjaan diperusahaan yang sederhana dengan asumsi 1 (satu) perusahaan mengentaskan 1 (satu) gelandangan dan atau pengemis maka akan signifikan tingkat keberhasilan penanganan gelandangan dan atau pengemis, c. pemberian modal usaha dan lain-lainnya.
Daftar Pustaka :
Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial. Jakarta : Departemen Sosial RI.
Meissner, Hanna. 1977. Poverty in The Affluent Society. New York : Harper and Row.
mataramkota.go.id/download.php?file...pdf tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.00
bambang-rustanto.blogspot.com/.../gelandangan-pengemis-program- tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.01
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6132/ tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.02
www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/5198 tanggal 10 Oktober 2012 pukul 21.02



[2] Meissner, Hanna. 1977. “Poverty in The Affluent Society”. New York : Harper and Row.
[3] Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. “Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta: Departemen Sosial RI. Hal. 128

[4] Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. “Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta: Departemen Sosial RI. Hal. 132-133