Masalah
gelandangan dan pengemis merupakan salah satu masalah sosial yang belum
teratasi dengan baik sampai saat ini.. Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah
telah berupaya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengurangi angka gelandangan
dan pengemis. Namun ironisnya jumlah gelandangan dan pengemis sering mengalami
fluktuasi dari tahun ke tahun. Bahkan untuk di kota-kota besar, jumlah
gelandangan dan pengemis biasanya bertambah pasca hari raya sehingga usaha
pemerintah tidak akan pernah ada habisnya untuk mengurangi jumlah gelandangan
dan pengemis khususnya di perkotaan.
Fakta
membuktikan bahwa gelandangan, pengemis dan anak jalanan adalah kelompok yang
masuk dalam kategori kemiskinan inti (core of poverty) di perkotaan. Menangani
kelompok ini sama halnya mencoba menangani masalah kemiskinan yang tersulit.
Kelompok gelandangan, pengemis dan anak jalanan merupakan kelompok khusus yang
memiliki karakteristik dan pola penanganan khusus, terutama berkaitan dengan
mentalitas dan tata cara hidup mereka yang sedikit banyak sudah terkontaminasi
budaya jalanan.[1]
Sebenarnya
masalah gelandangan dan pengemis adalah masalah klasik dalam urbanisasi. Oleh
karena itu, jika urbanisasi dapat diminimalisir, maka jumlah gelandangan dan
pengemis di perkotaan dapat dipastikan dapat diminimalisir pula. Karena itulah
upaya penanganan yang bagus dalam mengatasi permasalahan gelandangan dan
pengemis adalah melalui upaya preventif yang dilakukan terutama di
daerah-daerah yang berpotensi mengirimkan penduduk yang minim keterampilan,
pendidikan dan modal ke kota-kota besar.
Pemerintah
daerah wajib menyediakan panti sosial yang mempunyai program dalam bidang
pelayanan rehabilitasi dan pemberian bimbingan ketrampilan (workshop) bagi
gelandangan dan pengemis sehingga mereka dapat mandiri dan tidak kembali
menggelandang dan mengemis. Kita memiliki banyak orang dewasa yang memiliki
penghasilan rendah dan tinggal di daerah-daerah kumuh yang tidak mengenyam
pendidikan dengan baik dan tidak memiliki keterampilan khusus yang sangat
penting untuk memiliki pekerjaan informal yang stabil. Agar masyarakat di
wilayah tersebut memiliki kesempatan pekerjaan yang baik, maka program
dibutuhkan untuk pendidikan dan bimbingan bagi mereka, khususnya bagi generasi
mudanya.[2] Organisasi
Sosial (Orsos) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai bidang
pelayanan menangani gelandangan dan pengemis dihimbau untuk mensinergikan
program kegiatannya dengan pemerintah daerah atau instansi terkait sehingga
adanya sebuah program yang lebih komprehensif dan terhindarnya tumpang tindih
kegiatan yang sejenis. KUBE (Kelompok Usaha Bersama) sebagai media pemberdayaan
dapat dilihat dari tiga sisi yaitu menciptakan suasana atau iklim yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang, memperkuat potensi ekonomi yang
dimiliki oleh masyarakat, serta melindungi rakyat dan mencegah terjadinya
persaingan yang tidak seimbang, juga mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang
kuat atas yang lemah. Pemberdayaan melalui KUBE bukan hanya meliputi penguatan
individu sebagai anggota masyarakat tetapi juga pranata-pranatanya dengan
menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,
kebertanggungjawaban serta peningkatan partisipasi kelompok dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya.[3]
Pelaksanaan
program pemberdayaan warga miskin kelompok rawan pangan dan bencana akan dipadukan
dengan instansi sosial yang telah ada di daerah lokasi seperti Organisasi
Sosial Loka Bina Karya, Sasana Krida Karang Taruna, Majelis Ta’lim, Pondok
Pesantren, Gereja dan lembaga keagamaan lainnya. KUBE sebagai media utama
pemberdayaan adalah kelompok dengan mana proses pemberdayaan dilaksanakan
berupa usaha ekonomis produktif (UEP) dan usaha kesejahteraan sosial (UKS)
dalam semangat kebersamaan, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial.[4] Dunia
usaha dihimbau untuk peduli dan berperan aktif dalam penanganan gelandangan dan
pengemis lokal melalui program sosial yang ada diperusahaannya, seperti : a.
menjadi orang tua asuh bagi pengemis anak-anak usia sekolah, b. pemberian
ketrampilan dan mempekerjakan 1 orang sesuai bidang pekerjaan diperusahaan yang
sederhana dengan asumsi 1 (satu) perusahaan mengentaskan 1 (satu) gelandangan
dan atau pengemis maka akan signifikan tingkat keberhasilan penanganan
gelandangan dan atau pengemis, c. pemberian modal usaha dan lain-lainnya.
Daftar Pustaka :
Baharsjah, M.Sc,
Prof. Dr.Ir. Justika S. 1999. Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial.
Jakarta : Departemen Sosial RI.
Meissner, Hanna.
1977. Poverty in The Affluent Society.
New York : Harper and Row.
http://rarif.multiply.com/journal/item/201/PROGRAM-PENANGANAN-GELANDANGAN-PENGEMIS-DAN-ANAK-JALANAN-TERPADU-MELALUI-PENGUATAN-KETAHANAN-EKONOMI-KELUARGA-BERORIENTASI-DESA?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem tanggal 10
Oktober 2012 pukul 20.51
mataramkota.go.id/download.php?file...pdf tanggal 10
Oktober 2012 pukul 21.00
bambang-rustanto.blogspot.com/.../gelandangan-pengemis-program- tanggal 10
Oktober 2012 pukul 21.01
[1] http://rarif.multiply.com/journal/item/201/PROGRAM-PENANGANAN-GELANDANGAN-PENGEMIS-DAN-ANAK-JALANAN-TERPADU-MELALUI-PENGUATAN-KETAHANAN-EKONOMI-KELUARGA-BERORIENTASI-DESA?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
diakses tanggal 10 Oktober 2012 pukul 20.51
[2] Meissner, Hanna. 1977. “Poverty
in The Affluent Society”. New York : Harper and Row.
[3] Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir.
Justika S. 1999. “Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta:
Departemen Sosial RI. Hal. 128
[4] Baharsjah, M.Sc, Prof. Dr.Ir. Justika
S. 1999. “Menuju Masyarakat yang Berketahanan Sosial”. Jakarta: Departemen
Sosial RI. Hal. 132-133
Tidak ada komentar:
Posting Komentar