Kenapa bodoh?
Mereka umumnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak , bahkan ada yang buta
huruf. Adapun aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh anak-anak keluarga
miskin, di samping belajar di tingkat SD adalah membantu kedua orangtuanya di
rumah seperti mengasuh adik-adiknya yang masih kecil, membersihkan halaman
rumah, memasak dan mencuci (bagi anak-anak wanita), mencari rumput (bagi anak
laki-laki), dan sebagainya. [1]
Jarang sekali anak keluarga miskin yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. Anak-anak keluarga miskin sering disuruh membantu orangtuanya
mencari nafkah dengan menjadi buruh, pengamen, atau pengemis. Keadaan ini
menyebabkan anak-anak dari keluarga miskin memiliki masa kanak-kanak yang
singkat dan kurang mendapat pengasuhan orangtua.
Menurut
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, angka putus sekolah di tingkat
SD sekitar 1,3 persen atau setara 400.000 siswa. Kemudian anak yang tidak melanjutkan
pendidikan dari SD ke SMP sekitar 7,2 persen atau sekitar 2,2 juta siswa.
Mereka yang putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang
berikutnya tersebut kemungkinan besar akan menjadi pekerja (dan sebagian dari
mereka sebelumnya juga sudah bekerja). Kemiskinan membatasi kemampuan orang tua
untuk memenuhi biaya pendidikan anak. Sehingga ada kecenderungan anak yang
berasal dari keluarga yang kurang mampu mengalami keterlambatan pertumbuhan
kemampuan kognisi, afeksi dan psikomotorik dibandingkan anak yang berasal dari
keluarga sejahtera.[2]
Kenapa lapar?
Lahir dari keluarga miskin.Untuk
mencegah agar bayi/anak tidak menangis maka banyak orang tua yang memberi
makanan tambahan berupa nasi atau makanan lain kepada bayi meskipun umur bayi
tersebut kurang dari 6 bulan. Hal ini jelas bertentangan dengan pola pengasuhan
bayi/anak yang dianjurkan oleh para dokter/ahli pertumbuhan anak karena sebelum
berusia 6 bulan seyogyanya anak tidak diberi makanan tambahan dan hanya diberi
asi saja. Menurut harian Suara Pembaruan tanggal 11 Juli 2007,
Badan Dunia yang menangani masalah pangan, World Food Programme (WFP)
memperkirakan, anak Indonesia yang menderita kelaparan akibat kekurangan pangan
saat ini berjumlah 13 juta orang. Direktur Regional Asia WFP, Anthony Banbury,
mengatakan bahwa anak-anak yang kelaparan itu tersebar di berbagai tempat di
Tanah Air khususnya di tiga kawasan, yakni perkotaan, daerah konflik, dan
daerah rawan bencana.[3]
Kenapa tidak berdaya?
Anak merupakan kelompok yang rentan, marjinal dan dianggap sebelah mata.
Posisinya terkadang sangat lemah, sulit melawan, terkungkungg lingkungan, dan
dependen pada orang-orang di sekitarnya. Anak atau kelompok disebut sebagai
korban adalah karena dia atau kelompoknya mengalami derita, atau kerugian
mental, fisik, atau sosial oleh sebab orang lain atau kelompok lain. Terutama
yang ingin dimintakan perhatian adalah penimbulan korban oleh suatu struktur
sosial tertentu serta sistem-sistemnya pada seorang anak atau kelompok
(viktimisasi struktural). Viktimisasi
struktural menimbulkan banyak masalah terutama pada individu dan kelompok yang
berkedudukan lemah dan tidak berkuasa di dalam suatu masyarakat. Seorang anak
atau suatu kelompok/golongan dapat menderita karena tindakan kebijaksanaan
suatu pemerintah atau golongan tertentu yang berkuasa (politis, ekonomis,
sosial, religious, intelektual). Berlarut-larutnya ketimpangan sosial ini akan
berakibat pada pelanggaran hak-hak asasi manusia yang lain dan dapat merupakan
faktor yang kriminogen (menimbulkan kejahatan) pula. Bahkan dapat dikatakan
ketimpangan sosial inilah yang menjadi salah satu sebab utama daripada
pelanggaran hak asasi yang lain. [4]
Perlindungan
anak merupakan suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana setiap anak dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya. Adapun perlindungan anak merupakan
perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian maka
perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara
dan bermasyarakat. [5]
Kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan bersama.
Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan bergantung pada partisipasi yang baik
antara objek dan subjek dalam usaha pengadaan kesejahteraan anak tersebut. Ini
berarti bahwa setiap anggota masyarakat dan pemerintah (yang berwajib)
berkewajiban ikut serta dalam pengadaan kesejahteraan anak dalam suatu
masyarakat yang merata akan membawa akibat yang baik pada keamanan dan stabilitas
suatu masyarakat, yang selanjutnya akan mempengaruhi pembangunan yang sedang
diusahakan oleh masyarakat tersebut. Penghalangan pengadaan kesejahteraan anak
dengan perspektif kepentingan nasional, masyarakat yang adil dan makmur
spiritual dan material, adalah suatu penyimpangan yang mengandung faktor-faktor
kriminogen (menimbulkan kejahatan) dan viktimogen (menimbulkan korban). [6] Pasal
2, ayat 3 dan ayat 4, Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1979, tentang
Kesejahteraan Anak berbunyi sebagai berikut : “Anak berhak atas pemeliharaan
dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan. Anak
berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.
[1]
Budaya Kemiskinan di Desa Tertinggal di Jawa Timur, Lindyastuti Setiawati dan
Sri Guritno, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, CV. Bupara Nugraha
[2]
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/02/pekerja-anak-dan-kemiskinan/
tanggal 5 Desember 2012 pukul 05.57
[3] http://portal.sarapanpagi.org/sosial-politik/13-juta-anak-kelaparan-a-100-juta-orang-miskin.html
diakses tanggal 6 Desember 2012 pukul 05.19
[4] Masalah
Perlindungan Anak, Dr. Arif Gosita SH, PT.Bhuana Ilmu Populer, 2004, Hal. 38
[5]
Ibid., Hal. 17-18
[6] Ibid.,Hal.
35-36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar