Analisis Teori Philosophy of Money dalam
Kasus Kampanye Politik
Nama :
Syadza Alifa
NPM :
1106001883
Jurusan :
Ilmu Kesejahteraan Sosial
Georg
Simmel, seorang sosiolog dari Jerman, mengembangkan sebuah ide tentang
kekhususan fungsional, rasionalitas dan impersonalitas dalam hubungan sosial
yang disimbolkan dan dipermudah dengan uang dalam karyanya yang berjudul
“Philosophy of Money”. Buku ini tidak hanya sekedar menunjukkan ketertarikan
Simmel pada uang, tetapi juga menunjukkan minatnya pada fenomena yang melekat
dengan serangkaian pokok perhatian teoritis dan filosofis yang lebih luas. Ia
tidak hanya tertarik pada uang tetapi juga pada dampaknya pada berbagai hal.
Secara umum, Simmel melihat uang sebagai komponen kehidupan spesifik yang dapat
membantu untuk memahami totalitas hidup.
Buku The Philosophy of Money ini
memiliki banyak kesamaa dengan karya Karl Marx karena Simmel juga memusatkan
perhatian pada kapitalisme dan masalah yang ditimbulkan oleh ekonomi uang. Tetapi juga terdapat beberapa perbedaan
khususnya masalah perbedaan pandangan mengenai masalah ekonomi yang terjadi
pada saat itu. Simmel melihat masalah ekonomi pada zamannya sekadar sebagai
manifestasi spesifik dari masalah kebudayaan yang lebih umum, yaitu alienasi
kebudayaan objektif (Poggi, 1993). Bagi Marx, masalah-masalah ini tak lain
adalah masalah kapitalisme, namun bagi Simmel semua itu adalah bagian dari
tragedi universal – meningkatnya ketidakberdayaan individu ketika terjadi
pertumbuhan kebudayaan objektif. Analisis Marx secara historis bersifat
spesifik, sementara analisis Simmel berusaha menyaripatikan kebenaran abadi ini
dari dinamika sejarah manusia. Terjadinya perbedaan analisis tersebut
disebabkan karena perbedaan politik antara Simmel dan Marx. Marx melihat bahwa
masalah ekonomi terikat waktu, yaitu produk dari masyarakat kapitalis, oleh
karena itu ia percaya bahwa akhirnya masalah tersebut dapat dipecahkan. Sementara
itu, Simmel melihat masalah dasar ini melekat pada kehidupan manusia dan ia
yakin tidak ada harapan bagi perbaikan di kemudian hari.
Salah satu perhatian Simmel dalam
karya Philosophy of Money ini adalah hubungan antara uang dengan nilai. Menurut
Simmel, orang menciptakan nilai dengan menciptakan objek, memisahkan dirinya
dari objek-objek tersebut dan selanjutnya berusaha mengatasi jarak, kendala dan
kesulitan (Simmel, 1907/1978:66). Prinsip umumnya adalah bahwa nilai benda
berasal dari kemampuan orang untuk menjarakkan dirinya secara tepat dari objek.
Uang
dapat berperan untuk menciptakan jarak dengan objek dan menawarkan diri jadi
sarana untuk mengatasi jarak tersebut. Nilai uang yang melekat pada objek dalam
ekonomi modern menyebabkan kita berjarak darinya karena kita tidak dapat
memperolehnya tanpa uang. Kesulitan untuk mendapatkan uang dan objek-objek
tersebut menjadikannya bernilai bagi kita. Pada saat yang sama, sekali kita
mendapatkan cukup banyak uang, kita mampu mengatasi jarak antara diri kita
dengan objek. Dengan demikian, uang memiliki fungsi yang unik, menciptakan
jarak antara orang dengan objek, kemudian menjadi sarana untuk mengatasi jarak
tersebut.
Dalam proses
menciptakan nilai, uang juga menyediakan dasar bagi berkembangnya pasar,
ekonomi modern, dan akhirnya masyarakat (kapitalistis) modern (Poggi, 1996).
Uang menyediakan sarana yang dapat digunakan elemen-elemen ini untuk
mendapatkan kehidupan bagi dirinya sendiri yang bersifat eksternal dan memiliki
daya paksa terhadap aktor. Hal ini bertentangan dengan masyarakat sebelumnya
dimana barter atau perdagangan tidak mengarah pada dunia yang tereifikasi yang
merupakan produk khas ekonomi uang.
Terkait dengan interaksi, uang juga memungkinkan orang untuk mengatasi dan memenuhi kebutuhannya dalam transaksi ekonomi. Dan pada akhirnya hal tersebut juga akan memicu seseorang untuk terlibat interaksi dengan orang lain dalam usahanya memenuhi kebutuhannya yang dilakukan dengan cara bertransaksi dengan menggunakan uang.
Terkait dengan interaksi, uang juga memungkinkan orang untuk mengatasi dan memenuhi kebutuhannya dalam transaksi ekonomi. Dan pada akhirnya hal tersebut juga akan memicu seseorang untuk terlibat interaksi dengan orang lain dalam usahanya memenuhi kebutuhannya yang dilakukan dengan cara bertransaksi dengan menggunakan uang.
Uang juga dapat mempengaruhi dan
mempertinggi kebebasan individu, terlebih bagi mereka yang mempunyai
cukup uang. Gaya hidup individu mulai mengalami pergeseran, tidak lagi
terlalu banyak ditentukan oleh kebiasan dan tradisi , akan tetapi gaya hidup
individu lebih ditentukan karena sumber-sumber keuangan yang mereka miliki
untuk membeli perlengkapan-perlengkapan yang perlu untuk gaya hidup yang sudah
mereka tentukan.
Masyarakat
tempat uang menjadi tujuan itu sendiri, yang benar-benar menjadi tujuan akhir,
melahirkan sejumlah efek negatif pada individu (Beilharz, 1996), yang dua
diantaranya yang paling menarik adalah meningkatnya sinisme dan sikap acuh.
Sinisme terjadi ketika aspek tertinggi dan terendah kehidupan sosial
diperjualbelikan, direduksi menjadi alat tukar umum yaitu uang. Jadi kita dapat
“membeli” kecantikan atau kebenaran atau kecerdasan semudah membeli camilan.
Meningkatnya segala hal menjadi alat tukar umum mengarah pada sikap sinis bahwa
segala hal memiliki harga, bahwa apapun dapat dijual atau dibeli di pasar.
Ekonomi uang juga mengakibatkan sikap acuh, “semuanya sebagai hal yang
sama-sama tumpul dan berwarna abu-abu, bukan sebaga sesuatu yang menarik
perhatian” (Simmel, 1907/1978:256). Orang yang acuh sepenuhnya kehilangan kemampuan
untuk membedakan nilai diantara sejumlah objek yang dibeli. Pada konteks yang
sedikit berbeda, uang adalah musuh mutlak estetika, yang mereduksi segala hal
menjadi fenomena tanpa bentuk dan murni kuantitatif.
Dalam pengamatan Simmel, manusia
modern telah menjadikan uang sebagai tujuan utama, padahal sebetulnya uang
hanya merupakan sarana. Bersamaan dengan itu, muncullah dampak-dampak negative
terhadap individu, seperti sinisme. Dampak ekonomi lainnya adalah reduksi
nilai-nilai dalam kehidupan manusia, misalnya : banyak manusia yang menilai
sesuatu banyak berdasarkan uang, dan menganggap uang adalah segala-galanya. Selain
menunjukkan dampak negatif dari fenomena uang, Simmel juga menegaskan semua
yang terkait dengan uang termasuk dampak negative nya juga tergantung pada
manusia itu sendiri. Akan tetapi dia juga mengatakan bahwa uang hanyalah
sarana, bukan tujuan utama.
Menurut
Simmel, uang juga berdampak pada gaya hidup seseorang. Masyarakat yang
didominasi oleh ekonomi uang akan cenderung mereduksi segala hal menjadi tali
penghubung kausal yang dapat dipahami secara intelektual, bukan secara
emosional. Bentuk spesifik intelektualitas yang cocok yaitu cara pikir
matematis. Cara pikir matematis ini terkait dengan kecenderungan untuk
menekankan faktor kuantitatif ketimbang kualitatif dalam dunia sosial.
Dampak
uang pada gaya hidup seseorang adalah tumbuhnya kebudayaan objektif yang
mengorbankan kebudayaan individu. Kesenjangan antar keduanya akan semakin
lebar. Kesenjangan ini disebabkan meningkatnya pembagian kerja di masyarakat
modern (Oakes, 1984:19). Meningkatnya spesialisasi mengarah pada perbaikan
kemampuan untuk menciptakan beragam komponen dunia budaya. Namun, individu yang
terspesialisasi akan kehilangan pemahaman akan kebudayaan total dan kehilangan
kemampuan untuk mengendalikannya.
Selain
itu, ekonomi uang mengarah pada peningkatan perbudakan individu. Individu di
dunia modern menjadi teratomisasi dan terisolasi. Tidak lagi terikat pada suatu
kelompok, individu berdiri sendiri di hadapan kebudayaan objektif yang
terus-menerus meluas dan semakin koersif. Individu di dunia modern diperbudak
oleh kebudayaan objektif yang begitu masif. Ekonomi uang juga mengakibatkan
terjadinya reduksi nilai manusia menjadi ‘dolar’, sehingga adanya kecenderungan
mereduksi nilai manusia menjadi ekspresi moneter.
Uang juga dapat menyebabkan
perubahan pola interaksi. Misalnya, pada zaman dahulu, ketika belum terdapat
uang maka orang akan melakukan kegiatan ekonomi (jual beli) dengan
cara barter, tetapi setelah kemunculan uang sebagai alat tukar, masyarakat
merasa lebih mudah melakukan kegiatan ekonomi dan transaksi perdagangan, karena
membawa uang jauh lebih mudah dan praktis dibandingkan dengan cara lama yaitu
barter yang dianggap lebih rumit dan standarnya yang tidak jelas. Pertukaran
ekonomi menurut Simmel juga merupakan suatu interaksi sosial. Ketika transaksi
moneter menggantikan barter, maka terjadi perubahan penting dalam bentuk
interaksi atau pelaku sosial dalam kehidupan masyarakat.
Efek
negatif lain ekonomi uang adalah makin merebaknya hubungan impersonal
antarorang. Alih-alih berhubungan dengan individu sebagai pribadi, kita semakin
cenderung hanya berhubungan dengan posisi, terlepas dari siapa yang menduduki
posisi tersebut. Dalam pembagian kerja modern yang ditandai dengan ekonomi
uang, kita menghadapi situasi paradoks bahwa kendati kita semakin tergantung
pada posisi lain agar dapat bertahan hidup, kita semakin kurang mengenal orang
yang menduduki posisi tersebut. Individu yang mengisi posisi tertentu menjadi
semakin tidak penting. Kepribadian cenderung sirna dibalik posisi yang hanya
menghendaki sebagian kecil dirinya. Karena begitu sedikit yang diinginkan,
individu-individu dapat mengisi posisi sama. Kemudian orang menjadi bagian-bagian
yang dapat saling dipertukarkan.
Pada akhirnya, uang
menjadi simbol dan faktor utama, dalam perkembangan mode eksistensi
relativistik. Uang memungkinkan kita untuk mereduksi fenomena yang sangat
berbeda menjadi sejumlah dolar, dan hal ini mungkin diperbandingkan satu sama
lain. Dengan kata lain, uang merelatifkan segalanya. Namun, ekonomi uang juga
tidak hanya memiliki efek negatif, tetapi juga memiliki semacam aspek
membebaskan (Beilharz, 1996; Levine,1981b,1991b; Poggi, 1993). Pertama, ekonomi
uang memungkinkan kita semakin banyak berhubungan dengan orang di pasar yang
berkembang jauh lebih pesat. Kedua, kewajiban kita terhadap sesama sangat
terbatas (untuk jasa atau produk tertentu) ketimbang mencakup seluruhnya.
Ketiga, ekonomi uang memungkinkan orang memperoleh kepuasan yang tidak tersedia
pada sistem ekonomi sebelumnya. Keempat, orang memiliki kebebasan dalam
lingkungan tersebut untuk mengembangkan individualitasnya secara menyeluruh.
Kelima, orang lebih mampu memelihara dan melindungi pusat subjektif mereka,
karena mereka hanya terlibat pada hubungan yang terbatas. Keenam, pemisahan
pekerja dari sarana produksi, seperti ditegaskan Simmel, memungkinkan individu
mendapatkan kebebasan yang sama dari kekuatan-kekuatan produktif tersebut.
Ketujuh, ekonomi uang membantu orang semakin bebas dari kekangan kelompok
sosial mereka.
Jadi secara garis besar, dalam
karyanya Philosophy Of Money Simmel mencoba menganalisis mengenai pengaruh
adanya uang sebagai alat tukar terhadap perubahan gaya hidup manusia. Sebab utama meningkatnya kesenjangan
ini adalah meningkatnya pembagian kerja di masyarakat modern. Meningkatnya
spesialisasi dalam kehidupan masyarakat mengarah pada perbaikan kemampuan untuk
menciptakan beragam komponen dunia budaya. Namun, pada saat yang sama, individu
yang terspesialisasi kehilangan pemahaman tentang kebudayaan total dan
kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya.
Pentingnya
uang bagi manusia bisa dilihat dalam kasus kampanye calon pemimpin
legislatif/eksekutif. Banyak sekali ditemukan calon pemimpin legislatif yang
menggunakan uang sebagai alat untuk berinteraksi dengan masyarakat. Pertama,
dilihat dari fungsi uang menurut Simmel yaitu untuk mempertinggi kebebasan
individu. Disini dapat kita lihat pada saat kampanye calon pemimpin yang
menggunakan beragam kegiatan seperti acara hiburan rakyat, pemberian santunan
kepada masyarakat miskin, acara makan-makan bersama, dan lain-lain. Dalam hal
ini, seorang calon pemimpin yang memiliki uang banyak tentunya dapat dengan
sesukanya mengadakan acara untuk menarik perhatian masyarakat. Uang digunakan
untuk mendekatkan sang calon pemimpin dengan masyarakat. Melalui aksi seperti
pembagian uang untuk rakyat dan acara hiburan rakyat dapat terlihat bahwa
interaksi yang tercipta antara calon pemimpin dengan masyarakat adalah karena
adanya uang sebagai perekat diantara mereka. Seandainya sang calon pemimpin
tidak memiliki cukup uang sehingga tidak dapat menawarkan acara-acara seperti
diatas, maka besar kemungkinan calon tersebut tidak cukup dipilih atau diminati
oleh masyarakat (kecuali jika orang tersebut adalah tokoh yang kharismatik).
Dapat
dikatakan bahwa adanya usaha untuk membeli suara pendukung dengan memberikan
sejumlah uang baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibatnya akan
terjadi sinisme karena pilihan demokratis masyarakat diperjualbelikan dan
direduksi nilainya menjadi uang., direduksi menjadi alat tukar umum yaitu uang.
Jadi kita dapat “membeli” suara rakyat dengan mudah, semudah membeli gorengan
di warung. Hal ini akan mengarah pada sikap sinis bahwa segala hal memiliki
harga, sehingga apapun dapat dijual atau dibeli di pasar, termasuk pilihan
politis sekalipun.
Ketika
proses kampanye, para calon biasanya mendatangi daerah-daerah strategis dan
melakukan proses interaksi dengan masyarakat. Tak jarang terjadi suatu proses
interaksi yang hanya berupa basa-basi dengan masyarakat yang dalam teori Simmel
disebut Sosiabilita. Sosiabilita
merupakan interaksi yang terjadi demi interaksi itu sendiri dan bukan untuk
tujuan lain. Harapan dari diadakannya silaturahim ke daerah-daerah yaitu
terjadinya interaksi antara calon dan masyarakat, tetapi interaksi tersebut
tidak terbatas pada masalah praktis sehari-hari. Mereka tidak memiliki “isi”
kehidupan sehari-hari yang sama, hubungan mereka karena kehadiran mereka
bersama yang sementara sifatnya. Mungkin sang calon akan menanyakan kabar, atau
bersenda gurau tentang keadaan cuaca pada hari itu agar terlihat menarik di
depan masyarakat, meskipun mereka sebenarnya mengetahui bahwa mereka tidak
membutuhkan informasi itu dan mereka mengetahui hal itu.
Ketika
kampanye, suatu saat terjadi pencopotan spanduk atau baliho oleh pihak lawan,
kemudian diketahui oleh orang-orang yang sedang berada di sekitar wilayah
tersebut. Maka orang-orang yang awalnya sedang melakukan kegiatan masing-masing
akan mulai berbicara dengan orang-orang di sekitarnya dan membicarakan aksi
orang yang mencopot atribut. Disanalah muncul sebuah masyarakat. Dalam hal ini,
masyarakat (pada tingkat sosietalisasi) yang muncul akan sangat rapuh dan
sementara sifatnya, dimana ikatan timbal baliknya itu bersifat sementara saja.
Proses terjadinya ‘masyarakat’ ini disebut sosiasi. Sosiasi merupakan proses
dimana masyarakat itu terjadi yang meliputi interaksi timbal balik dimana
individu saling berhubungan dan saling mempengaruhi sehingga masyarakat itu
muncul. Namun demikian, proses sosiasi bermacam-macam, mulai dari pertemuan
sepintas lalu antara orang-orang asing di tempat-tempat umum sampai ke ikatan
persahabatan yang lama dan intim. Masyarakat ada (pada tingkatan tertentu)
dimana dan apabila sejumlah individu terjalin melalui interaksi dan saling
mempengaruhi.
Seorang calon pemimpin
legislatif/eksekutif biasanya didukung oleh partai-partai koalisi yang
mengusung mereka. Semakin besar dan kuat partainya, maka dukungan terhadap
calon tersebut kemungkinan akan lebih besar daripada partai lain yang berjumlah
sedikit. Seorang calon bisa diusung oleh lebih dari 1 partai politik untuk
lebih memperkuat dukungan, misalnya 2 atau 3 partai yang akhirnya berkoalisi
untuk berjuang memenangkan pemilihan.
Dalam
hal ini, terjadi sebuah pembentukan koalisi yang merupakan proses sosial yang
mungkin terjadi hanya dalam hubungan yang mencakup lebih dari 2 pihak.
Pembentukan koalisi terjadi dalam suatu kelompok kecil seperti kelompok tigaan
(triad) dan juga dalam sistem sosial yang lebih besar. Koalisi dapat diharapkan
terbentuk antara orang-orang yang tidak mampu mencapai hasil yang diinginkan secara sendirian, kecuali kalau mereka
bergabung dalam tindakan yang menjamin tercapainya hasil-hasil itu. Harus ada
tingkat kemampuan minimal atau kesepadanan antara hasil-hasil dari para anggota
koalisi itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam pengusungan calon oleh
beberapa partai politik membutuhkan kesepadanan dalam pandangan, pemikiran dan
langkah agar koalisi tidak terpecah sehingga sang calon tidak kehilangan
dukungan.
Kesimpulan dari analisis kasus
kampanye politik ini yaitu uang dapat menjadi alat interaksi penting untuk
mendekatkan jarak antara calon dengan masyarakat. Sang calon yang umumnya
memiliki banyak dana memiliki kebebasan untuk membuat acara-acara menarik yang
akan mewarnai kampanyenya. Namun upaya ini akan menimbulkan sinisme pada diri
calon bahwa ia dapat dengan mudah membeli suara masyarakat. Dalam proses
kampanye itu pula, terjadi hubungan-hubungan yang oleh Simmel disebut
sosiabilita, sosiasi, dan triad (pembentukan koalisi). Jadi, kasus kampanye
politik ini selain dapat dikaitkan dengan teori filosofi uang, juga dapat
dikaitkan dengan teori Simmel lainnya mengenai interaksi.
Daftar
Pustaka :
Ritzer,
George, Douglas J.Goodman. 2004. Teori
Sosiologi. New York : Kreasi Wacana.
Johnson,
Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik
dan Modern Jilid 1.Jakarta : PT Gramedia.
Johnson,
Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik
dan Modern Jilid 2.Jakarta : PT Gramedia.
http://crewetsbit.blogspot.com/2011/12/teori-george-simmel.html
(tanggal 11 April 2012)