Minggu, 06 Mei 2012

TEORI SISTEM TERBUKA


ANALISIS SIKLUS UMPAN BALIK DALAM PENGALAMAN HIDUP
oleh Syadza Alifa, 1106001883

Penilaian mengenai umpan balik dalam hubungannya denga tujuan yang diinginkan, dapat berpengaruh macam-macam terhadap perilaku. Pada tingkat individual, apakah suatu perilaku tertentu itu diulangi atau diubah, akan dipengaruhi oleh tipe umpan balik yang diterima. Pada umumnya, kita dapat mengharapkan bahwa umpan-balik positif (seperti yang dinyatakan dalam tercapainya tujuan dengan baik) akan memperkuat suatu perilaku tertentu atau memperbesar kemungkinan bahwa perilaku ini akan terulang kembali. Sebaliknya, umpan balik negatif dapat diharapkan merangsang perubahan perilaku.[1]
Salah satu proses dalam siklus umpan-balik yaitu proses morfogenik. Proses morfogenik mengacu pada siklus umpan-balik positif dimana penyimpangan dipandang dapat memperkuat suatu sistem. Siklus umpan-balik positif dimulai ketika suatu penyimpangan atau variasi dari suatu pola yang sudah mapan diperkuat, yang dengan demikian merangsang penyimpangan selanjutnya ke arah yang sama. Penyimpangan awal bisa hanya kecil dan tanpa ada pengaruhnya yang berarti untuk sistem. Namun, penyimpangan tersebut justru mengarahkan pada proses perubahan kumulatif. Artinya, dukungan positif terhadap penyimpangan kecil yang awal itu, merangsang suatu penyimpangan yang agak lebih besar dalam arah yang sama. Penyimpangan tambahana ini, jika diikuti oleh suatu penyimpangan yang lebih besar lagi dan seterusnya.
Siklus umpan-balik positif ini tercakup dalam pembentukan subkultur alternatif atau subkultur para penyimpang. Model pembentukan subkultur menyimpang ini sebagai produk dari siklus umpan-balik positif sejalan dengan teori cap (labelling theory). Menurut perspektif ini, individu yang didefinisikan dengan cara yang negatif sebagai orang yang inferior atau menyimpang, sebenarnya memasukkan definisi ke dalam konsep dirinya dan kemudian bertindak dengan cara yang mengungkapkan konsep dirinya ini. Singkatnya, mendefinisikan seseorang sebagai penyimpang memperkuat penyimpangan individu tersebut.[2]
Pengalaman hidup yang pernah saya alami berkaitan dengan proses morfogenik yakni ketika saya memasuki dunia rohis SMA dan menjadi pengurusnya. Awalnya, sejak SD-SMP saya merupakan orang biasa yang berpenampilan tomboy, “ber-Islam” seadanya meskipun sudah memakai jilbab dan termasuk orang yang sering “main” (main ke rumah teman/jalan-jalan). Namun ketika menginjak bangku SMA, saya tertarik ketika melihat senior-senior perempuan yang memakai jilbab panjang dan rapi serta aktif dalam rohis. Akhirnya ketika pemilihan ekstrakulikuler, saya memilih ikut organisasi yang merupakan rohis di SMA saya yaitu DKM Al-Ma’wa.
Ketika awal bergabung dengan DKM Al-Ma’wa, tujuan saya hanya satu yaitu ingin mencari teman-teman pergaulan yang baik. Awalnya teman-teman saya kaget melihat keaktifan saya di DKM. Beberapa ada yang mendukung khususnya orangtua dan sahabat dekat, tetapi ada juga yang mencemooh. Ketika saya memantapkan diri untuk berjilbab lebih baik, saya sering dipandang “sok alim” oleh beberapa  orang. Apalagi ketika itu, setiap anggota rohis wajib mengisi tausyiah ke setiap kelas, sehingga tak jarang ada orang yang merendahkan atau merasa pemateri sebagai orang “sok alim”. Orang-orang pun kerap memanggil saya “Teteh[3] Syadza” atau “Bu Ustadzah”. Kadang ketika saya melewati sekumpulan orang, orang-orang tersebut seketika mengucapkan “Assalamu’alaikum!”. Meskipun saya tidak tahu niat mereka mengucapkan salam atau memberikan label tersebut, tetapi saya merasa senang. Melihat sikap orang-orang yang seperti itu justru semakin membuat saya berusaha menunjukkan sikap muslim yang baik dan berusaha mengidentifikasikan diri saya seperti label yang saya dapatkan.
Jika dianalisis menurut proses morfogenik, perubahan kecil yang dialami terus bertambah akibat dari dukungan positif yang didapatkan. Perubahan kecil yaitu dengan mengikuti rohis menyebabkan saya berjilbab lebih baik dan mengatur tingkah laku lebih baik juga, sehingga terjadi perubahan kumulatif dalam sistem kehidupan saya. Penyimpangan yang saya lakukan justru memperkuat sistem
Proses morfogenik yang saya alami juga sejalan dengan teori Labelling, dimana ketika saya mendapat label “Bu Ustadzah” dan “Teteh Syadza”, saya justru memasukkan definisi tersebut  ke dalam konsep diri saya dan bertindak sesuai dengan konsep diri tersebut.  

Daftar Pustaka :
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid 2.Jakarta : PT Gramedia.



[1] Johnson, “Teori Sosiologi Klasik dan Modern”, Bab XII, hlm. 247-248
[2] Johnson, “Teori Sosiologi Klasik dan Modern”, Bab XII, hlm. 253
[3] Panggilan umum orang Sunda untuk perempuan yang lebih tua dan biasanya dihormati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar