ANALISIS
SIKLUS UMPAN BALIK DALAM PENGALAMAN HIDUP
oleh
Syadza Alifa, 1106001883
Penilaian
mengenai umpan balik dalam hubungannya denga tujuan yang diinginkan, dapat
berpengaruh macam-macam terhadap perilaku. Pada tingkat individual, apakah
suatu perilaku tertentu itu diulangi atau diubah, akan dipengaruhi oleh tipe
umpan balik yang diterima. Pada umumnya, kita dapat mengharapkan bahwa
umpan-balik positif (seperti yang dinyatakan dalam tercapainya tujuan dengan
baik) akan memperkuat suatu perilaku tertentu atau memperbesar kemungkinan
bahwa perilaku ini akan terulang kembali. Sebaliknya, umpan balik negatif dapat
diharapkan merangsang perubahan perilaku.[1]
Salah
satu proses dalam siklus umpan-balik yaitu proses morfogenik. Proses morfogenik
mengacu pada siklus umpan-balik positif dimana penyimpangan dipandang dapat
memperkuat suatu sistem. Siklus umpan-balik positif dimulai ketika suatu
penyimpangan atau variasi dari suatu pola yang sudah mapan diperkuat, yang
dengan demikian merangsang penyimpangan selanjutnya ke arah yang sama.
Penyimpangan awal bisa hanya kecil dan tanpa ada pengaruhnya yang berarti untuk
sistem. Namun, penyimpangan tersebut justru mengarahkan pada proses perubahan
kumulatif. Artinya, dukungan positif terhadap penyimpangan kecil yang awal itu,
merangsang suatu penyimpangan yang agak lebih besar dalam arah yang sama.
Penyimpangan tambahana ini, jika diikuti oleh suatu penyimpangan yang lebih
besar lagi dan seterusnya.
Siklus
umpan-balik positif ini tercakup dalam pembentukan subkultur alternatif atau
subkultur para penyimpang. Model pembentukan subkultur menyimpang ini sebagai
produk dari siklus umpan-balik positif sejalan dengan teori cap (labelling
theory). Menurut perspektif ini, individu yang didefinisikan dengan cara yang
negatif sebagai orang yang inferior atau menyimpang, sebenarnya memasukkan
definisi ke dalam konsep dirinya dan kemudian bertindak dengan cara yang
mengungkapkan konsep dirinya ini. Singkatnya, mendefinisikan seseorang sebagai
penyimpang memperkuat penyimpangan individu tersebut.[2]
Pengalaman
hidup yang pernah saya alami berkaitan dengan proses morfogenik yakni ketika
saya memasuki dunia rohis SMA dan menjadi pengurusnya. Awalnya, sejak SD-SMP
saya merupakan orang biasa yang berpenampilan tomboy, “ber-Islam” seadanya
meskipun sudah memakai jilbab dan termasuk orang yang sering “main” (main ke
rumah teman/jalan-jalan). Namun ketika menginjak bangku SMA, saya tertarik
ketika melihat senior-senior perempuan yang memakai jilbab panjang dan rapi
serta aktif dalam rohis. Akhirnya ketika pemilihan ekstrakulikuler, saya
memilih ikut organisasi yang merupakan rohis di SMA saya yaitu DKM Al-Ma’wa.
Ketika
awal bergabung dengan DKM Al-Ma’wa, tujuan saya hanya satu yaitu ingin mencari
teman-teman pergaulan yang baik. Awalnya teman-teman saya kaget melihat
keaktifan saya di DKM. Beberapa ada yang mendukung khususnya orangtua dan
sahabat dekat, tetapi ada juga yang mencemooh. Ketika saya memantapkan diri
untuk berjilbab lebih baik, saya sering dipandang “sok alim” oleh beberapa orang. Apalagi ketika itu, setiap anggota
rohis wajib mengisi tausyiah ke setiap kelas, sehingga tak jarang ada orang
yang merendahkan atau merasa pemateri sebagai orang “sok alim”. Orang-orang pun
kerap memanggil saya “Teteh[3]
Syadza” atau “Bu Ustadzah”. Kadang ketika saya melewati sekumpulan orang,
orang-orang tersebut seketika mengucapkan “Assalamu’alaikum!”. Meskipun saya
tidak tahu niat mereka mengucapkan salam atau memberikan label tersebut, tetapi
saya merasa senang. Melihat sikap orang-orang yang seperti itu justru semakin
membuat saya berusaha menunjukkan sikap muslim yang baik dan berusaha mengidentifikasikan
diri saya seperti label yang saya dapatkan.
Jika
dianalisis menurut proses morfogenik, perubahan kecil yang dialami terus
bertambah akibat dari dukungan positif yang didapatkan. Perubahan kecil yaitu
dengan mengikuti rohis menyebabkan saya berjilbab lebih baik dan mengatur
tingkah laku lebih baik juga, sehingga terjadi perubahan kumulatif dalam sistem
kehidupan saya. Penyimpangan yang saya lakukan justru memperkuat sistem
Proses
morfogenik yang saya alami juga sejalan dengan teori Labelling, dimana ketika
saya mendapat label “Bu Ustadzah” dan “Teteh Syadza”, saya justru memasukkan
definisi tersebut ke dalam konsep diri
saya dan bertindak sesuai dengan konsep diri tersebut.
Daftar Pustaka :
Johnson,
Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik
dan Modern Jilid 2.Jakarta : PT Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar