Oleh Syadza Alifa
Mahasiswi FISIP Universitas Indonesia
Dewasa ini, kasus-kasus
yang berhubungan dengan agama semakin mencuat di masyarakat. Kasus-kasus
tersebut bisa merupakan kasus penodaan agama, pelecehan agama, eksklusi
,
atau intoleransi beragama. Salah satu kasus yang harus dicermati saat ini
adalah kasus intoleransi beragama karena isu ini sedang hangat dibicarakan di
media massa. Entah itu merupakan intoleransi antar agama atau intoleransi antar
sesama pemeluk agama tertentu. Terjadinya intoleransi beragama di Indonesia memang
menjadi sebuah pertanyaan besar di tengah bangsa yang majemuk ini. Indonesia
yang memiliki beragam budaya serta kepercayaan seharusnya mampu mengembangkan
toleransi beragama yang tinggi demi menciptakan integrasi bangsa. Suka atau
tidak, Indonesia memang sebuah Negara dan bangsa yang majemuk, dan disitulah
letak keistimewaan Indonesia.
Beberapa orang
sempat berkata bahwa Indonesia merupakan Negara yang penuh toleransi. Buktinya,
agama resmi yang diakui agama ada 5 dan setiap hari besar keagamaan menjadi
hari libur nasional. Tetapi apakah hanya itu tolok ukur toleransi di Indonesia?
Adanya toleransi atau intoleransi tidak bisa diukur hanya dengan hal-hal itu
saja, Toleransi beragama di Indonesia memang hal yang sangat dibutuhkan di
Indonesia. Tanpa toleransi, akan timbul perpecahan dan berujung pada
disintegrasi bangsa. Terjadinya intoleransi tentunya merupakan hal yang tidak
kita inginkan bersama. Bisa dikatakan hubungan antar agama atau sesama pemeluk
agama di Indonesia adalah hubungan yang konfliktual karena mudah sekali
terpecah karena isu-isu diskriminasi dan intoleransi beragama.
Pertanyaan saat
ini, bagaimana bisa kasus intoleransi bisa terjadi di Indonesia? Mengapa sudah
begitu lama kasus ini sering terjadi tetapi belum ada perubahan yang berarti? Ada
beberapa penyebab yang menjadi sumber konflik menurut ilmu sosiologi. Pertama,
adanya penerbitan tulisan-tulisan yang dianggap mencemarkan agama. Kedua, jika
adanya usaha penyebaran agama yang progresif. Ketiga, jika pemeluk agama
beribadah di tempat yang bukan tempat ibadah. Keempat, bila ada penetapan dan
penerapan peraturan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi
penyebaran agama. Terakhir, adanya kecurigaan timbal balik berkaitan dengan
posisi dan peranan agama dalam Negara (Azra, 2001).
Jika melihat
sumber-sumber konflik diatas dapat dikatakan bahwa semua potensi konflik diatas
pernah atau bahkan sedang terjadi di Indonesia. Isu hubungan antar agama
menjadi isu yang sangat sensitif untuk dibahas. Bahkan saat ini, bukan hanya
hubungan antar agama yang dapat memicu konflik, ternyata hubungan antar sesama
pemeluk agama tertentu pun mengalami kondisi krisis. Masyarakat akhirnya menyalahkan
pemerintah yang tidak mampu menjaga keharmonisan beragama di Indonesia karena
ketidaktegasan pemerintah dalam menindak kasus-kasus intoleransi beragama.
Jika dilihat
dari sudut pandang sosiologi, tugas Negara sebenarnya sangat penting dalam
menangani kasus intoleransi beragama. Pertama, Negara harus memberikan edukasi
terhadap warganya melalui pendidikan multikultural. Kedua, Negara harus menjaga
atmosfir toleransi dan memastikan bahwa warganegaranya mendapatkan perlakuan
yang adil sesuai dengan hak-haknya, tanpa adanya dominasi, diskriminasi dan
eksklusi dari kelompok tertentu terhadap individu dan kelompok. Namun pada
kenyataannya, pemerintah belum mampu menerapkan konsep ini. Oleh karena itu,
untuk menghadapi masalah intoleransi beragama, kita tidak bisa hanya berpangku
tangan pada keputusan dan tindakan pemerintah. Tetapi membutuhkan kerjasama
dari semua pihak, khususnya masyarakat. Salah satu upaya yang penting dilakukan
menurut ilmu sosiologi yaitu pendidikan multikultural bagi masyarakat (yang
juga diusahakan oleh Negara). Multikulturalisme sendiri adalah pemahaman dan
cara pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap
kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara. Sementara
pendidikan multikultural sendiri merupakan konsep yang luas, mencakup
pendidikan formal, pendidikan non-formal, bahkan pendidikan informal (Azra dan
Saifuddin, 2002). Sebenarnya pendidikan multikultural mendapatkan banyak kritik
karena dianggap tidak sejalan dengan nasionalisme. Namun dibalik semua itu,
pendidikan multikultural memiliki tujuan yang baik untuk menciptakan toleransi
dalam masyarakat. Jadi jika dilihat secara sosiologi, untuk memecahkan masalah
intoleransi beragama ini perlu adanya pendidikan multikultural bagi masyarakat
dan ketegasan pemerintah dalam menindak kasus-kasus intoleransi beragama.
Namun yang
menjadi masalah selain daripada terjadinya kasus intoleransi itu sendiri adalah
perbedaan sudut pandang mengenai makna toleransi dalam masyarakat. Kenapa hal
ini begitu penting? Karena perbedaan pendapat mengenai toleransi akan
menentukan sikap seseorang terhadap suatu kasus dan mengelompokkan dirinya
dalam kelompok tertentu. Saat ini, toleransi yang dipercaya oleh sebagian besar
masyarakat adalah toleransi yang berarti menerima segala macam perbedaan dalam
masyarakat tanpa terkecuali serta menghargai dan memberikan hak-haknya.
Jika dilihat
dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, kita akan menemukan sudut
pandang yang sedikit berbeda. Dalam agama Islam, toleransi sendiri sudah jelas
tercantum dalam surat Al-Kafirun ayat 6 yang artinya “Untukmu agamamu, dan
untukku agamaku.” Ayat ini menyiratkan bahwa toleransi adalah hal yang harus
dilakukan selama tidak menganggu akidah masing-masing. Artinya, kita menghargai
perbedaan, mengakui keberadaannya, dan memberikan hak-haknya. Namun dalam
beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, banyak terjadi kasus yang dianggap
sebagai intoleransi beragama, tetapi justru sebenarnya telah melecehkan agama
sendiri. Sebagai contoh kita mengambil kasus Ahmadiyah, kasus yang masih
terdengar saat ini. Beberapa kelompok membela kepercayaan Ahmadiyah dengan
alasan toleransi beragama. Namun, kelompok Islam fundamental tidak bisa
menerima Ahmadiyah karena Ahmadiyah dianggap telah menyimpang dari agama Islam.
Bagi umat Islam, toleransi dapat diterima selama tidak merusak akidah Islam itu
sendiri. Oleh karena itu, ketika ada kelompok Ahmadiyah, hal ini tidak dapat
diterima karena kelompok tersebut dianggap telah merusak akidah dan keluar dari
Islam sehingga tidak bisa diakui keberadaannya. Sehingga akhirnya terjadi
perbedaan pendapat yang cukup sengit, yang satu membela perbedaan kepercayaan
dan yang satu menentang perbedaan kepercayaan ini karena tidak bisa diterima
menurut akidah. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat mengenai toleransi
bagi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Perbedaan pendapat ini akan sulit
disatukan karena masing-masing memiliki argumen sendiri.
Sebenarnya yang
membuat kasus intoleransi ini tidak pernah padam karena adanya perbedaan sudut
pandang dari kelompok-kelompok yang berbeda yang memaknai toleransi secara
berbeda pula. Meskipun seandainya pemerintah telah berusaha bertindak tegas
terhadap suatu kasus intoleransi, pasti akan tetap ada pertentangan dalam
masyarakat karena ada kelompok yang menganggap kasus tersebut sebagai
intoleransi, tetapi ada juga yang menganggap kasus tersebut sebagai penegakan
hukum agama (bukan masalah toleransi lagi). Menurut penulis (yang memegang
sudut pandang Islam), toleransi memang harus ditegakkan selama tidak menganggu
atau merusak suatu kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Kita tetap menerima
multikulturalisme karena memang perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tetapi juga tidak menghilangkan nilai-nilai yang
lebih hakiki yaitu nilai-nilai agama dan akidah. Terutama jika toleransi
menyangkut agama pasti akan sangat sensitif untuk dibahas Semoga isu-isu
“intoleransi” beragama di Indonesia tidak memecahkan bangsa Indonesia dan kita tetap
berupaya menjaga kerukunan umat beragama dalam masyarakat dengan mengedepankan
komunikasi antar pihak yang berbeda pendapat.