Minggu, 14 Oktober 2012

ME AND DREAMS



Akhirnya resmi jadi mentor dan pengajar di Khadjah Islamic School..!! yeah!

Dear friends, alhamdulillah cita-citaku yang 1 ini tercapai di tahun 2012...Tahun 2012 ini bisa dikatakan banyak hal yang aku dapat banyak banget nikmat yang Allah kasih buatku....



Lanjutin kuliah S2 di UNSW itu cita-citaku bangeeeeet....rencananya sih ngambil jurusan Social Work sama Psychology...
Beres S2, rencananya pengen lanjutin ke Berkeley University...jurusannya Social Work and Social Policy...:)

Kamis, 04 Oktober 2012

Dampak Kapitalisme dalam Masalah Kemiskinan


Oleh Syadza Alifa
Mahasiswi FISIP UI Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial

Masalah kemiskinan merupakan masalah serius yang dihadapi oleh seluruh Negara di dunia. Tidak peduli Negara Adidaya atau Negara Dunia Ketiga, angka kemiskinan selalu menjadi indikator baik atau buruknya pembangunan di suatu Negara. Ironisnya, angka kemiskinan setiap tahun tidak menurun secara signifikan, yang ada justru semakin bertambah. Saat ini, beberapa Negara yang sedang krisis ekonomi mengalami peningkatan angka pengangguran yang cukup tinggi. Hal ini tentu berpengaruh pada meningkatnya angka kemiskinan.
Membicarakan masalah kemiskinan ini erat kaitannya dengan kapitalisme. Pembangunan di seluruh dunia memang telah terwarnai dengan kapitalisme yang kental. Banyak pihak yang mengagungkan kapitalisme karena kapitalisme mengedepankan demokrasi liberal, hak azasi manusia dan ekonomi pasar bebas. Beberapa Negara menganggap kapitalisme sebagai ideologi pembangunan yang ideal. Mereka bahkan menganggap hanya melalui cara kapitalisme saja kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia dapat dicapai.
Beberapa tokoh seperti Milton Friedman dan Fukuyama berpendapat bahwa pembangunan ekon omi yang maju dapat dicapai jika peran Negara diminimalisir dan kekuasaan bisnis diutamakan. Ciri peran minimal Negara dan pengutamaan kekuatan bisnis ini merupakan ciri dari kapitalisme. Bisa kita saksikan banyak Negara yang mengimplementasikan kapitalisme di negaranya. Kapitalisme memang menjadi ideologi yang kuat di hampir seluruh Negara di dunia, bahkan sanggup mengalahkan ideologi lainnya. Namun demikian, setelah kapitalisme memonopoli hampir seluruh sistem ekonomi, kini semakin banyak pengamat yang menggugat apakah sistem yang didasari persaingan pasar bebas ini mampu menjawab berbagai permasalahan nasional maupun global. Masalah seperti perusakan lingkungan, meningkatnya kemiskinan, melebarnya kesenjangan sosial, meroketnya pengangguran, dan merebaknya pelanggaran HAM serta berbagai masalah degradasi moral lainnya ditengarai sebagai dampak langsung maupun tidak langsung dari beroperasinya sistem ekonomi kapitalistik.
Dalam Kapitalisme, terdapat dua kelas yang selalu bertentangan dimana kelas borjuis atau pemilik modal dan kelas pekerja (prolektar). Menurut pandangan Marx, pengejaran keuntungan merupakan hal yang hakiki dalam kapitalisme. Dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Untuk mengejar nilai surplus yang dapat meningkatkan modal, perpanjangan hari kerja dan eksploitasi buruh merupakan salah satu cara yang digunakan kapitalis. Untuk menekan biaya produksi, penurunan upah sampai dibawah nilainya pun dipaksakan oleh pengusaha. Upah buruh disesuaikan dengan nilai pakai, namun tidak sebanding dengan nilai tukar yang ada di pasar untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, hal tersebut tmembuat buruh tetap hidup dalam kemiskinan. Kondisi di atas disebut oleh Mark sebagai ‘pemfakiran (pauperisation) atau ‘pemelaratan’ (emiseration). Disparitas relatif yang terus membesar antara kelas pekerja dan kelas kapitalis ketika kelas kapitalis terus menimbun kekayaan, upah kaum buruh tidak pernah dapat naik untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, dan dipaksa untuk hidup dalam kemiskinan, sehingga keberadaan mereka akan menjadi ‘penduduk surplus relatif’ bagi kapitalis. Ironisnya, negara hanya berperan sebagai penjaga malam guna menjamin mekanisme pasar berjalan lancar dan campur tangan negara yang terlalu besar dianggap hanya akan mengganggu beroperasinya pasar. Patokan tindakannya akan bercorak utilitarianistik, asas “sebesar-besarnya manfaat dari sekecil-kecilnya pengorbanan”. Kapitalisme menyebabkan kemiskinan karena kapitalisme memiliki ciri khas persaingan bebas, liberalisasi dan sekulerisme adalah ciri khas dari sistem kapitalis yang dianggap “tanpa nurani”.
Daftar Pustaka                        :

Giddens, Anthony. 1985. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern : Suatu Analisis terhadap Karya

Tulis Marx, Durkheim dan Max Weber. Jakarta : Universitas Indonesia

23 September 2012 pukul 03.07

Permasalahan Sosial dan Perilaku Miskin


oleh Syadza Alifa
Mahasiswi FISIP UI Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial

Umumnya orang mendefinisikan permasalahan sosial sebagai masalah yang melibatkan banyak orang dan memberikan efek pada kehidupan orang lainnya. Mengacu definisi umum ini, maka ketika kita mendengar kata permasalahan sosial, yang terlintas adalah pengemis, pengamen, anak-anak jalanan, WTS, banjir, dan lain-lain. Definisi masalah sosial menurut ahli sosiologi, Prof. Dr. Paulus Tangindilintin, adalah suatu kondisi yang dinyatakan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh sebagian warga, yang sepakat bahwa suatu kegiatan bersama diperlukan untuk mengubah kondisi itu. [1] Pada umumnya, kemiskinan didefinisikan sebagai kekurangan uang. Namun, kemiskinan sebenarnya dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa sebab, diantaranya tingkat pengangguran yang tinggi, kecacatan fisik, kekurangan skill, tingkat pendidikan yang rendah, diskriminasi ras, alkoholisme, ketergantungan obat-obatan terlarang, dan lain-lain[2]. Pembangunan dari teori masalah sosial dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang didalamnya termasuk teori latarbelakang personal individu, keadaan sosial, politik, dan ekonomi lazim selama periode sejarah tertentu. [3]
Salah satu contoh permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat adalah masalah kemiskinan. Kemiskinan sangat erat dengan kesenjangan sosial dan stratifikasi sosial karena sistem-sistem kesenjangan sosial menciptakan kemiskinan[4]. Mendengar kata kemiskinan akan terbayang sebuah kondisi dimana kekurangan bahan makanan, tinggal di tempat kumuh, memakai baju yang kumal, mandi di bantaran sungai, kondisi kesehatan yang buruk, dan lain-lain. Kemiskinan melahirkan perilaku-perilaku tertentu yang turut menjadi permasalahan sosial. Contoh perilaku miskin diantaranya pola hidup yang kurang sehat dan kurang bersih, malas, dan tingkat religiusitas dan kesadaran politik yang rendah. Pertama, pola hidup yang kurang sehat dan kurang bersih dapat dilihat dari tempat tinggalnya, lingkungan tempat tinggalnya, dan dari cara merawat tubuh. Hampir sebagian besar orang miskin tidak terlalu peduli dengan kebersihan dan kesehatan. Buktinya, tempat tinggal mereka berada di daerah yang secara ekologis kurang memenuhi syarat sebagai tempat tinggal yang baik. Dalam rumah mereka, umumnya tidak terlalu rapi dan bersih. Selain itu, mereka juga kurang merawat kesehatan tubuh. Mereka bisa mandi dengan air empang, memakai baju yang sama berhari-hari, makan makanan yang kurang bersih, dan lain-lain. Kedua, mereka sering diidentikkan dengan sifat malas. Karena mereka umumnya tidak mau bekerja keras untuk kehidupannya. Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh tingkat pendidikan mereka yang rendah dan kemampuan mereka yang kurang sehingga mereka tidak berani bersaing dalam dunia kerja. Ketiga yaitu tingkat religiusitas dan kesadaran politik yang rendah. Tingkat religiusitas ini dapat dilihat dari tekunnya mereka dalam beribadah. Umumnya mereka jarang melaksanakan ibadah, bahkan mungkin mendapatkan pendidikan yang sangat kurang mengenai agama. Tetapi mereka sangat antusias jika ada acara-acara besar agama yang didalamnya terdapat acara pembagian sedekah/santunan bagi orang miskin. Sehingga banyak orang-orang yang terjerat kasus kejahatan karena permasalaahan ekonomi sebagai akibat dari kurangnya pemahaman agama. Kesadaran politik mereka juga rendah, bahkan ada yang menjadi apolitis. Ini juga berkaitan dengan tingkat pendidikan mereka yang rendah.
Keseluruhan contoh perilaku kemiskinan diatas memiliki hubungan satu dengan yang lain. Pertama dari pola hidup yang kurang sehat menghasilkan kondisi fisik dan otak yang kurang baik sehingga menyebabkan mereka malas bekerja. Karena mereka hanya sedikit mengenyam pendidikan dan mendapatkan pengawasan akibatnya mereka menjadi apolitis dan kurang taat menjalankan ibadah. Pada akhirnya, mereka dalam kondisi yang terdesak karena masalah ekonomi memaksa diri mereka untuk melakukan kejahatan demi mendapatkan uang secara cepat. Perilaku kemiskinan ini membuktikan bahwa perlu adanya pembangunan sumber daya manusia yang baik untuk mengurangi masalah-masalah sosial yang ditimbulkan dari perilaku kemiskinan.
Daftar Pustaka :
Tangindilintin, Prof. Dr. Paulus. 2000. Materi Pokok Masalah-Masalah Sosial (Suatu Pendekatan
            Analisis Sosiologis). Jakarta : Universitas Terbuka.
Zastrow, Charles. 2004. Introduction to Social Work and Social Welfare. United States of
            America : Thomson.
Curran, Daniel J, Claire M. Renzetti. 1987. Social Problems Society in Crisis. Massachusets :
            Allyn and Bacon Inc.
Macionis, John.J. 2008. Sociology.United States of America : Pearson International.
      


[1] Prof. Dr. Paulus Tangindilintin, Materi Pokok Masalah-Masalah Sosial (Suatu Pendekatan Analisis Sosiologis), 2000, Jakarta : Universitas Terbuka
[2] Charles Zastrow, Introduction to Social Work and Social Welfare, hal.138
[3] Daniel J. Curran and Claire M. Renzetti, Social Problems Society in Crisis, 1987, Massachusets, Allyn and Bacon Inc
[4] John J.Macionis, Sociology, 2008, hal.291

Intoleransi Beragama Indonesia dan Ketegasan Pemerintah : Perbandingan Makna Toleransi Dilihat dari Sudut Pandang Islam dan Sosiologi


Oleh Syadza Alifa
Mahasiswi FISIP Universitas Indonesia

Dewasa ini, kasus-kasus yang berhubungan dengan agama semakin mencuat di masyarakat. Kasus-kasus tersebut bisa merupakan kasus penodaan agama, pelecehan agama, eksklusi[1], atau intoleransi beragama. Salah satu kasus yang harus dicermati saat ini adalah kasus intoleransi beragama karena isu ini sedang hangat dibicarakan di media massa. Entah itu merupakan intoleransi antar agama atau intoleransi antar sesama pemeluk agama tertentu. Terjadinya intoleransi beragama di Indonesia memang menjadi sebuah pertanyaan besar di tengah bangsa yang majemuk ini. Indonesia yang memiliki beragam budaya serta kepercayaan seharusnya mampu mengembangkan toleransi beragama yang tinggi demi menciptakan integrasi bangsa. Suka atau tidak, Indonesia memang sebuah Negara dan bangsa yang majemuk, dan disitulah letak keistimewaan Indonesia.
Beberapa orang sempat berkata bahwa Indonesia merupakan Negara yang penuh toleransi. Buktinya, agama resmi yang diakui agama ada 5 dan setiap hari besar keagamaan menjadi hari libur nasional. Tetapi apakah hanya itu tolok ukur toleransi di Indonesia? Adanya toleransi atau intoleransi tidak bisa diukur hanya dengan hal-hal itu saja, Toleransi beragama di Indonesia memang hal yang sangat dibutuhkan di Indonesia. Tanpa toleransi, akan timbul perpecahan dan berujung pada disintegrasi bangsa. Terjadinya intoleransi tentunya merupakan hal yang tidak kita inginkan bersama. Bisa dikatakan hubungan antar agama atau sesama pemeluk agama di Indonesia adalah hubungan yang konfliktual karena mudah sekali terpecah karena isu-isu diskriminasi dan intoleransi beragama.
Pertanyaan saat ini, bagaimana bisa kasus intoleransi bisa terjadi di Indonesia? Mengapa sudah begitu lama kasus ini sering terjadi tetapi belum ada perubahan yang berarti? Ada beberapa penyebab yang menjadi sumber konflik menurut ilmu sosiologi. Pertama, adanya penerbitan tulisan-tulisan yang dianggap mencemarkan agama. Kedua, jika adanya usaha penyebaran agama yang progresif. Ketiga, jika pemeluk agama beribadah di tempat yang bukan tempat ibadah. Keempat, bila ada penetapan dan penerapan peraturan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama. Terakhir, adanya kecurigaan timbal balik berkaitan dengan posisi dan peranan agama dalam Negara (Azra, 2001).
Jika melihat sumber-sumber konflik diatas dapat dikatakan bahwa semua potensi konflik diatas pernah atau bahkan sedang terjadi di Indonesia. Isu hubungan antar agama menjadi isu yang sangat sensitif untuk dibahas. Bahkan saat ini, bukan hanya hubungan antar agama yang dapat memicu konflik, ternyata hubungan antar sesama pemeluk agama tertentu pun mengalami kondisi krisis. Masyarakat akhirnya menyalahkan pemerintah yang tidak mampu menjaga keharmonisan beragama di Indonesia karena ketidaktegasan pemerintah dalam menindak kasus-kasus intoleransi beragama.
Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, tugas Negara sebenarnya sangat penting dalam menangani kasus intoleransi beragama. Pertama, Negara harus memberikan edukasi terhadap warganya melalui pendidikan multikultural. Kedua, Negara harus menjaga atmosfir toleransi dan memastikan bahwa warganegaranya mendapatkan perlakuan yang adil sesuai dengan hak-haknya, tanpa adanya dominasi, diskriminasi dan eksklusi dari kelompok tertentu terhadap individu dan kelompok. Namun pada kenyataannya, pemerintah belum mampu menerapkan konsep ini. Oleh karena itu, untuk menghadapi masalah intoleransi beragama, kita tidak bisa hanya berpangku tangan pada keputusan dan tindakan pemerintah. Tetapi membutuhkan kerjasama dari semua pihak, khususnya masyarakat. Salah satu upaya yang penting dilakukan menurut ilmu sosiologi yaitu pendidikan multikultural bagi masyarakat (yang juga diusahakan oleh Negara). Multikulturalisme sendiri adalah pemahaman dan cara pandang yang menekankan interaksi dengan memperhatikan keberadaan setiap kebudayaan sebagai entitas yang memiliki hak-hak yang setara. Sementara pendidikan multikultural sendiri merupakan konsep yang luas, mencakup pendidikan formal, pendidikan non-formal, bahkan pendidikan informal (Azra dan Saifuddin, 2002). Sebenarnya pendidikan multikultural mendapatkan banyak kritik karena dianggap tidak sejalan dengan nasionalisme. Namun dibalik semua itu, pendidikan multikultural memiliki tujuan yang baik untuk menciptakan toleransi dalam masyarakat. Jadi jika dilihat secara sosiologi, untuk memecahkan masalah intoleransi beragama ini perlu adanya pendidikan multikultural bagi masyarakat dan ketegasan pemerintah dalam menindak kasus-kasus intoleransi beragama.
Namun yang menjadi masalah selain daripada terjadinya kasus intoleransi itu sendiri adalah perbedaan sudut pandang mengenai makna toleransi dalam masyarakat. Kenapa hal ini begitu penting? Karena perbedaan pendapat mengenai toleransi akan menentukan sikap seseorang terhadap suatu kasus dan mengelompokkan dirinya dalam kelompok tertentu. Saat ini, toleransi yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat adalah toleransi yang berarti menerima segala macam perbedaan dalam masyarakat tanpa terkecuali serta menghargai dan memberikan hak-haknya.
Jika dilihat dari sudut pandang agama, dalam hal ini agama Islam, kita akan menemukan sudut pandang yang sedikit berbeda. Dalam agama Islam, toleransi sendiri sudah jelas tercantum dalam surat Al-Kafirun ayat 6 yang artinya “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” Ayat ini menyiratkan bahwa toleransi adalah hal yang harus dilakukan selama tidak menganggu akidah masing-masing. Artinya, kita menghargai perbedaan, mengakui keberadaannya, dan memberikan hak-haknya. Namun dalam beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, banyak terjadi kasus yang dianggap sebagai intoleransi beragama, tetapi justru sebenarnya telah melecehkan agama sendiri. Sebagai contoh kita mengambil kasus Ahmadiyah, kasus yang masih terdengar saat ini. Beberapa kelompok membela kepercayaan Ahmadiyah dengan alasan toleransi beragama. Namun, kelompok Islam fundamental tidak bisa menerima Ahmadiyah karena Ahmadiyah dianggap telah menyimpang dari agama Islam. Bagi umat Islam, toleransi dapat diterima selama tidak merusak akidah Islam itu sendiri. Oleh karena itu, ketika ada kelompok Ahmadiyah, hal ini tidak dapat diterima karena kelompok tersebut dianggap telah merusak akidah dan keluar dari Islam sehingga tidak bisa diakui keberadaannya. Sehingga akhirnya terjadi perbedaan pendapat yang cukup sengit, yang satu membela perbedaan kepercayaan dan yang satu menentang perbedaan kepercayaan ini karena tidak bisa diterima menurut akidah. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat mengenai toleransi bagi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Perbedaan pendapat ini akan sulit disatukan karena masing-masing memiliki argumen sendiri.
Sebenarnya yang membuat kasus intoleransi ini tidak pernah padam karena adanya perbedaan sudut pandang dari kelompok-kelompok yang berbeda yang memaknai toleransi secara berbeda pula. Meskipun seandainya pemerintah telah berusaha bertindak tegas terhadap suatu kasus intoleransi, pasti akan tetap ada pertentangan dalam masyarakat karena ada kelompok yang menganggap kasus tersebut sebagai intoleransi, tetapi ada juga yang menganggap kasus tersebut sebagai penegakan hukum agama (bukan masalah toleransi lagi). Menurut penulis (yang memegang sudut pandang Islam), toleransi memang harus ditegakkan selama tidak menganggu atau merusak suatu kepercayaan yang telah ada sebelumnya. Kita tetap menerima multikulturalisme karena memang perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tetapi  juga tidak menghilangkan nilai-nilai yang lebih hakiki yaitu nilai-nilai agama dan akidah. Terutama jika toleransi menyangkut agama pasti akan sangat sensitif untuk dibahas Semoga isu-isu “intoleransi” beragama di Indonesia tidak memecahkan bangsa Indonesia dan kita tetap berupaya menjaga kerukunan umat beragama dalam masyarakat dengan mengedepankan komunikasi antar pihak yang berbeda pendapat.


[1] Eksklusi menurut Sosiologi adalah peminggiran suatu kelompok tertentu.